Senin, 22 April 2013

Nandur Kebecikan


Saya lupa hari dan tanggalnya. Di senja itu, saya sebagai orang yang naif, saya bertanya kepada Muhammad Yunus, “Apa cita-cita Anda sebenarnya? Apakah dari kecil ingin mendirikan pusat pemberdayaan rakyat, seperti Grameen Bank?”
Karena ini pembicaraan informal –saya berdiri sambil memegang secangkir kopi- ia menjawab dengan riang, “Saya hanya ingin menanam kebaikan.” Tahun 2006, ia dianugerahkan Nobel Perdamaian. Ternyata, kebaikan telah ditanam di tubuh rakyat Banglades dengan subur dan akarnya telah tertancap dengan amat sangat kuat. Ia telah menginspirasi dunia.
Padahal, siapa orang Indonesia pernah mendapatkan nasehat dari leluhurnya yang mirip dengan perkataan Muhammad Yunus tersebut. Pada orang Jawa, nasihat itu datang dari orang terdekat yang tulus memperhatikan kita agar selalu nandur kebecikan. Cita-cita yang paling mulia dalam hidup adalah nandur kebecikan.
Karena itu, di mata orang lain, menjadi presiden, gubernur, bupati atau ketua RT tidak penting. Gelar profesor, dosen atau master tidaklah berguna. Pangkat jenderal, kapten dan letnan tidak ada artinya. Yang penting adalah nandur kebecikan kepada orang lain.
sekedar “menjadi orang baik”?
Menyaksikan perilaku elit kita pada akhir-akhir sungguh sangatlah mengejutkan, nasihat menanam kebaikan itu tiba-tiba menikam saya. Hati ini pun bertanya-tanya tentang apa sebenarnya harapan para pemimpin kita? Apakah mereka ingin nandur kebecikan kepada rakyat atau sekedar ingin “menjadi orang” (jadi pejabat)?
Tentu tidak mudah menilai seseorang, apa lagi menghakimi cita-citanya. Namun sejujurnya, saya prihatin menyaksikan sebagian elit kita. saya tidak habis mengartikan Bapak Presiden yang telah lalai mengurus negeri ini, yang sibuk mengurus Partainya. Atau, Presiden partai berlabel agama yang tersangkut KKN pengimporan daging sapi. Padahal keduanya adalah bagian dari pilar-pilar penyangga kewibawaan pemerintah.
Hal lain yang juga sulit saya pahami adalah banjir yang tidak terbendung, rencana naiknya harga elpigi, ada rakyat yang tidak kuat membayar biaya rumah sakit, sulitnya mendapatkan pendidikan, makan nasi aking atau banyaknya busung lapar. Yang tidak bisa terlupakan adalah persoalan lumpur Lampindo yang tak ada ujungnya.
Sebagai peneliti yang tertarik pada kebudayaan dan politik, sejujurnya kasus lumpur Lampindo membuat saya lebih khawatir dibanding dengan permasalahan lainnya. Ini berkaitan dengan karakter dan simpul-simpul historis Jawa timur. Sejak  zaman Mataram sampai awal Republik, wilayah ini serat dengan sikap penentangan. Kerajaan Kediri yang runtuh karena gangguan pemberontakan “Brang Wetan”. Dan, awal Republik, gerakan komunis juga bermarkas di Jawa Timur (Madiun, Belitar dan sekitarnya).
selain itu, masih banyak fenomena-fenomena bandit sosial (Beraksi ala Pandawa Lima) yang tubuh sejak Belanda dan kenekatan “Bonek” pada masa kini. Belum lagi, Bung Tomo dan kawan-kawan sewaktu melawan diperhitungkan. Pendek kata, secara historis ada indikasi bahwa karakter warga “Brang Wetan” adalah Spoiler.
Karena itu, para elit sebaiknya tidak terjebak pada pusaran “jadi orang” semata. Mereka harus berani nandur kebecikan, yaitu menuntaskan lumpur panas dan tidak meremehkan aksi warga Sidoharjo dan sekitarnya. Pendeknya, jangan sampai masalah ini menjadi pemicu mengerasnya sikap warga “Brang Wetan”. Republik ini akan kerepotan dan kehabisan energi ketika hal ini terjadi.
Nandur kebecikan
Simpang-siurnya sikap elit dan lambatnya penanganan masalah yang ada mengesankan bahwa kita ini tidak rapi dalam bernegara. Akibatnya, optimisme rakyat tidak bangkit. Jika demikian keadaannya, tidak ada pilihan lain, Bapak presiden harus menjadi pelopor menanam kebaikan, tidak hanya dalam partainya saja. Melainkan kepada seluruh rakyat yang ada di pundaknya.
Saya yakin Bapak Presiden telah mencoba nandur kebecikan selama ini. Namun, usah menanam kebaikan Bapak Bambang tampaknya masih kurang keras. Sejauh ini rakyat belum bisa mesem (tersenyum), apa lagi gemuyu (tertawa).
Ketika bapak presiden menginginkan tanaman tersebut tumbuh subur, bapak harus berani mengambil langkah yang pro-rakyat meskipun langkah tersebut memiliki resiko. Misal, mengutamakan kesehatan rakyat, makanan rakyat dan pendidikan rakyat. Dan, menyelesaikan permasalahan yang ada, jangan pandang keluarga atau teman yang salah harus dimusnahkan. Dan, berani mengusut tuntas tentang lumpur Lapindo hingga akarnya.
Jika Presiden karena alasan-alasan politik tidak berani mengambil langkah-langkah pro-rakyat? Saya akan mengatakan, “Ya, sudah, tidak apa-apa. Toh Gusti ora sare –Tuhan tidak tidur.”

1 komentar:

  1. How to Play Baccarat (Baccarat) - FBCASINO
    Once you're familiar with 바카라 baccarat, the main attraction is to have the most basic skills of betting on the cards. Most of 바카라사이트 the kadangpintar time, when you play baccarat

    BalasHapus