Senin, 22 April 2013

puisi keenam


air

aku bukan mata air
tapi aku air mata

menyisakkan kepedihan
karena aku datang
mendatangkan kebahagiaan
karena ada kekeringan

air!

semua berasal dari air
            ; mataair
berakhir pula pada air
            ; airmata

                        Jogjakarta, 2013

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Tai !
Katanya, anti korupsi
tapi, lumbung koruptor

Tai !
Katanya, anti kolusi
tapi, paling pintar menipu rakyat sendiri

Tai !
Katanya, anti nepotisme
tapi, mengutamakan keluarga

Tai !
kau mangutamakan rakyat?
atau menyejahterakan rakyat?

Tai !

Kau !
Tai !

Janjimu penuh TAI !

                        Jogjakarta, 2013

Perempuan Malam

Jam dua belas malam
bintangbintang berkedip mencari kawan
rembulan bercinta pada kesunyian

Di ujung gang
ada kawan mencari pelanggan
untuk anak dan hutang

“Apa peduli aku di sini?
yang penting anak bahagia,
hutang pun tiada” Kata bersama bayang

Perempuan malam. Duduk
tanpa bunyi, memakai rok mini
bermahkotakan  sunyi
Hingga subuh pergi
tak ada pelanggan yang menghampiri

Esok hari
anak tak bisa makan nasi
terganti oleh caci maki

Sungguh malang sang jabang bayi

                        Jogjakarta, 2013


Me Me Me

tak usah bicara
;tentang nasiolisme
;tentang pluralisme
;tentang me me me

bicarlah dengan lantang
            ;tentang harga sandang pangan
            ;tentang biaya pendidikan
            ;tentang biaya kesehatan

saat tubuh ini sehat
jiwa ini kuat
aku, anakku atau cucuku
tanpa kau cecari
akan tahu sendiri

                        Jogjakarta, 2013

Kau Aku
            ;Chuang Tzu

ini adalah aku
itu adalah kau

aku membutuhkan itu
kau memerlukan ini

kauaku membutuhkan iniitu
iniitu memerlukan kauaku

iniitu melahirkan kauaku
iniitu mematikan kauaku
iniitu pasti ada dalam diri kauaku
mematikan dan melahirkan iniitu dan kauaku

            Jogjakarta, 2013

malam Januari
tak se-Indah malam Desember

a
malam januari menerjang
orangorang berlari, bersembunyi
tak-kut menyusuri,
jalan masih begitu jauh. Perlu beribu langkah kaki
menuju esok hari

b
malam desember datang tak di undang
orangorang senang, menyalakan api dan bergadang.
mengikuti langkah kaki hampir matang
melupakan januari hampir datang

katanya, “menyambut kematian hampir datang”

c
malam Januari yang menantang
;atau,
malam Desember yang menyenangkan

                        Jogjakarta, 2012/2013

Syukur

“nasi sudah menjadi bubur”

nasib sudah tersungkur
sulit menerawang alam kubur

“ah, andai aku bersyukur
hidup ini tak sedalam sumur.
Masuk semua dan terkubur”

Tuhan
waktu telah kabur
meninggalkan aku dalam lumpur

                        Jogjakarta, 2013


Biografi: Ngarjito AS, lahir di Pati, 01 Februari 1992. Sekarang belajar di UIN Sunan Kalijaga dan penggiat lesehan sastra di Garawiksa Pena Jogjakarta.

puisi kelima

Akan Kembali

Hidup dari setitik air
Bercampur dengan titik lain
Titik berubah segerombolan titik
Titik-titik menjelma embrio setitik
Setitik embrio revolusi menjadi setitik jiwa
Titik jiwa-jiwa bermain di atas daun talas
Menggumpal setitik embun pagi
Menguap bersama titik titik murka
Mengubah titik awan putih menjadi titik awan hitam menyekam
Setitik demi setitik akan kembali ke titik awal

                                                Jogjakarta, 2012
Untukmu, puisi ini

Puisi ini untukmu
merangkai dengan rasa rindu
isak tangis menemani dalam pilu
esok hari, masih ada harapan bertemu?
mengembangkan senyum dan tangis

puisi ini untukmu
mewakilkan setangkai cinta untukmu
emm,, aku tak tau isi hatimu
kamu mencintaiku atau sebatas rindu
                                                Jogjakarta, 2012
Peta

Di bawah rintik air hujan
Aku merajut mimpi bersama awan
Sesekali petir memberiku peta pada kematian
                ;dengan tinta emas pada selembar kain kafan
                Menunjukkan pada pemakaman

Di ujung timur
Genderang kematian telah ditabuh
Merobek gendang telinga
Hanya terdengar mimpi kematian
Bukan kematian sebatas mimpi

                                                Jogjakarta, 2012

Secangkir Kopi

Secangkir kopi
Menemani dalam duka maupun suka
Seperti halnya aku dan dia
Tak bisa terlepas oleh jarak dan harta

Secangkir kopi
Membedakan aku dan dia
Dia buta sedangkan aku tak punya peta

Akhirnya
Waktu menyamakan aku dan dia
Tak tau jalan menuju samudra
Yang sama-sama gila tertelan asmara

                                                Jogjakarta, 2012

Sebatas Imajinasi

Hari ini masih pagi
Mimpi sudah pergi
mengarungi samudra imajinasi

seperti anjing menggonggong, kafilah berlalu
gue bengong, imajinasi pergi malu-malu
diem tanpa tingkah laku
perut kosong tanpa uang saku

                                                Jogjakarta, 2012
Biodata:

Ngarjito AS. Lahir di Sitiluhur, Pati, Jawa Tengah. Sekarang belajar di Study of Religi UIN Sunna Kalijaga dan tinggal di gubuk sastra Garawiksa Pena Yogyakarta.
No HP: 0857258993725



puisi keempat


Hinanya Tubuhku

Angin berkesiur dalam tasbih dan tahmidnya
Bersama rembulan menatap dunia dalam mimpi
Untuk merangkul esok tanpa kebencian

Tubuh dihempaskan angin dalam kebinasaan,
Terlentang dalam kegelapan kejujuran
Terdiam dalam penipuan dan hayalan

Angin bertasbihlah, dalam dekapan
Angin bertahmidlah, dalam jiwa
Bersama tubuh tertesuk duri dunia
Dalam singgah sana-Mu


Aku Penjaul kabar itu

suara bising di atas embun
menggairahkan tubuh untuk maju
-lampu hijau telah berganti merah
merayapkan tubuh untuk mengais sisa-sisa
rezeki di ujung perempatan

keringat menetes di atas telapak kaki.
menggantikan embun tertindas kaki penggila kuasa
“koran-koran” teriaknya. sekali menatap jendela
mobil orang borjuis.

wajah berlumur keringat kepediahan, menyatukan
hati yang hancur terserempet modernisasi. selembar uang
kertas yang paling hina. di lempar dengan kesombongan.
dibalas uluran lembut pada segebok kabar hari ini.

lampu merah tergantikan lampu hijau. mobil-mobil
teriak mendahului orang-orang pinggiran. memaki keringat
yang menempel di spion. di ludahi yang menghalangi jalannya
akhirnya aku sadar, akulah penjual kabar bersama menguapnya embun.


Untukku, bukan untukmu

Lampu lima watt menerangi kamar
kecil ini. Jarak dan waktu telah
menemani dalam merantau di negeri
orang. Gelap kematian telah di ubah
menjadi cahaya harapan masa depan.

Lampu lima watt tidak seterang
cahaya di perempatan pahlawan
memberi harapan setiap mata
memberi peta pada langkah
yang telah menghilangkan cahaya
abadi yang tertutup awan kesombong
bagi mata-mata keranjang yang menikmati
cahaya perempatan

Lantas, bagaimana dengan lampu lima
watt di kamar? yang redup bersama sepasang
mata. Hanya memberi harapan pada dirinya dan
sepasang mata yang berbaring di atas ranjang.
menenggelamkan ganasnya kegelapan. Bersama mimpi
hanya untukku bukan untukmu.


Akhir atau Awalku

dengan titik
aku menuju titik
bercumbu bersama titik
membuat embrio-embrio titik
ingin menjadi titik
mengubah titik
akhirnya titik
membunuhku, titik
melupakan-Mu, titik
titik. O titik


Antara Pangkuanku dan Pangkuanmu, Ibu

1
Di pangkuan mu, ibu
tubuh ini terasa sempurna
meskipun air mata kepedihan
selalu mengalir bak kasih sayang
yang engkau berikan

Semua itu, semua itu, Terobati
oleh tangan keikhlasan menanamkan
bunga-bunga kasturi  hati
memupuk tanpa penyesalan
yang menjadikan warna dan rasa beda

Di pangkuan mu, ibu
aku rindu bersenandung
bermain kata tanpa dusta
meski engkau berlumur darah
menikmati nada-nada kuberikan

2
Di pangkuanku, ibu
engkau telah mengukir sejarah
dalam tidur dan mimpimu
dengan belaian tangan ini, tidak bisa tergantikan
kepiluan hati

Di pangkuanku, ibu
akhirnya engkau telanjang
aku basuh dengan doa
mengiringi langkahmu untuk
bercerita tentang aku dan Dia


Biodata:

Ngarjito AS. Lahir di Sitiluhur Pati Jawa Tengah. Sekarang belajar di Study of Religi UIN Sunna Kalijaga dan penikmat sastra di Garawiksa Pena.