Senin, 22 April 2013

Bangsa Yatim

Seperti biasa, setiap pagi saya berjualan koran. Tetapi, pagi itu ada yang mengejutkan saya, ada seorang pembeli seraya mengucap “Kita betul-betul sudah menjadi bangsa yatim”. Ia tidak pengamat politik yang baik sepengetahuan saya. Ini terlihat dari pakaian dan sepedanya terdapat keranjang untuk mengumpulkan botol bekas. Seorang pembeli yang sudah tidak peduli pada carut-marutnya politik di Jakarta. Ia memiliki cuek apa yang sudah terjadi.
Saya tidak sempat menanyakan mengapa ia menyebut bangsanya sedemikian. Mungkin, perkataan itu adalah ekspresi seorang warga negara yang merasa tidak punya orang tua lagi. Bukan tidak mungkin, perasaan seperti itu yang mendominasi sebagian hati bangsa ini.
Jika pemerintahan dianalogikan sebagai orang tua, keluhan pembeli itu memang keniscayaan. Sudah sejak lama bangsa ini berjalan tanpa pemerintahan. Memang, kita punya presiden. Tetapi, sejak memerintah, ia hanya sibuk menyelamatkan kelompoknya atau partainya.
Kita juga punya wakil rakyat. Tapi, mereka sibuk dengan kepentingan pribadinya dari pada yang diwakilinya. Wajar, banyak RUU yang terbengkalai. Mereka kini sering silat lidah tentang semua itu. Atau, sibuk nonton Film Biru saat sidang berlangsung. Ah, itukan cuma satu yang ketahuan, yang lain? ngobrol berapa uang proyek negara yang masuk saku pribadi.
***
Tampaknya, kita ditakdirkan untuk melewati beberapa fase kehidupan berbangsa yang tidak menggembirakan. Begitu terlepas dari penjajahan, kita menjadi bangsa yang belia –mengurus dirinya sendiri yang terlepas dari rahim yang meninabobokkan.
Sebuah negara yang serba kekurangan, bahkan terbelakang. Kemerdekaan memang sepat menjadi mimpi indah. Mimpi yang terwujudnya kehidupan yang makmur dan adil. Sayang seribu sayang, mimpi itu tidak ujung ada nyatanya. Kekayaan manusia yang terbatas, menyebabkan kekayaan alam yang luar biasa ini tidak segera memakmurkan kita.
Bulan madu Bung Karno sebagai simbol kebebasan bangsa ini tak berlangsung lama. Tak lebih satu dasawarsa, ia telah menjadi bapak yang sibuk dengan dirinya sendiri. Bahkan, ada kecenderungan megalomania. Rakyat yang masih belia yang membutuhkan bimbingan dan tuntunan orang tua, telah ditinggalkan sebelum cukup dewasa.
Soeharto muncul dengan membawa mimpi-mimpi baru. Dengan jargon membangun ekonomi menjadi mainan rakyat yang sebelumnya terhipnotis oleh politik yang secara ekonomi kekurangan. Soeharto telah membawa prestasi pertumbuhan ekonomi, meski mengorbankan kebebasan berpendapat dan berujung pada ketimpangan sosial.
Tiga puluh tahun lebih, bangsa ini mulai merangkak dengan rasa kegamangan. Pada zaman Orde Lama, bangsa ini ibarat keluarga dengan bapak tiri. Di sebut ayah tiri karena Soeharto banyak mementingkan kepentingan sendiri dari pada kepentingan anaknya –rakyat.
Atas nama bangsa, ia mengabaikan rakyat sebagai anaknya. Bersama keluarga dan kroninya, ia berusaha menguasai negeri ini. Sementara itu, sebagian besar rakyat sebagai anaknya telah diabaikan, bahkan disingkirkan. Ia pun lengser dengan meninggalkan beberapa masalah yang menambah beban bangsa ini.
Ketika Susilo Babang Yudoyono menjadi presiden dengan dipilih langsung rakyat, bangsa ini mulai berani bermimpi kembali. betapa tidak. Ia terpilih dengan jargonnya yang anti-korupsi dan bangsa yang berpendidikan. Maka, bangsa ini mulai berani bermimpi tentang kehidupan yang makmur dan adil.
Toh, itu hanya mimpi. Bulan madu para pemimpin hanya sekejap. Pemerintahan efektif hanya hitungan bulan, selebihnya kita dipertontonkan pertikaian pemimpin yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Ibarat, setelah terlepas dari ayah tiri, kini bangsa tidak lagi punya orang tua yang membimbing anaknya. Bangsa tanpa pemerintahan, no government. Bangsa yatim, seperti yang dikeluhkan oleh pembelian koran tadi. Pemerintah tidak berjalan semestinya, parlemen tidak bekerja seharusnya, kecuali mengawasi pemerintah secara ketat. Akhirnya, anak berjalan sendiri tanpa bimbingan dan tuntunan orang tua.
Di tengah krisis politik dan sosial, rakyat mengambil langkah sendiri untuk bisa survive. Apatisme berkembang di mana-mana. Hingga, kemudian membiarkan para elit politik bertikai tiada habisnya. Harapan lahirnya sebuah bapak yang bisa membimbing anaknya keluar dari persoalan bangsa telah dikubur dalam-dalam.
Saya tidak terlalu serius memikirkan kekacauan politik di negeri ini dengan fase bangsa yatim. Mengapa? barang kali, memang takdir inilah yang kita hadapi sebagai bangsa. Keyatiman yang selalu melahirkan tragedi. Sebaliknya, ia juga menghasilkan sebuah bangsa yang makin dewasa. Bukankah keyatiman Muhammad mengantarkannya dia makin siap menjalankan tugas-tugas kerasulan dari Tuhan-Nya?
Apapun yang terjadi dengan negeri ini, tampaknya fase bangsa yatim ini akan membawa rakyat semakin dewasa. Bangsa tidak lagi panik karena pertikaian para elite. Perbedaan pendapat mungkin sudah dianggap biasa, meski bangsa ini terkungkung selam tiga puluh tahun. Kita yakin fase ini dilalui dengan sedikit korban yang ditimbulkan.
Saya tidak termasuk orang yang tak melihat krisis politik sekarang ini sebagai tragedi. Anggap saja  ini sebagai pembelajaran kita sebagai bangsa ingin maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar