Senin, 22 April 2013

puisi keempat


Hinanya Tubuhku

Angin berkesiur dalam tasbih dan tahmidnya
Bersama rembulan menatap dunia dalam mimpi
Untuk merangkul esok tanpa kebencian

Tubuh dihempaskan angin dalam kebinasaan,
Terlentang dalam kegelapan kejujuran
Terdiam dalam penipuan dan hayalan

Angin bertasbihlah, dalam dekapan
Angin bertahmidlah, dalam jiwa
Bersama tubuh tertesuk duri dunia
Dalam singgah sana-Mu


Aku Penjaul kabar itu

suara bising di atas embun
menggairahkan tubuh untuk maju
-lampu hijau telah berganti merah
merayapkan tubuh untuk mengais sisa-sisa
rezeki di ujung perempatan

keringat menetes di atas telapak kaki.
menggantikan embun tertindas kaki penggila kuasa
“koran-koran” teriaknya. sekali menatap jendela
mobil orang borjuis.

wajah berlumur keringat kepediahan, menyatukan
hati yang hancur terserempet modernisasi. selembar uang
kertas yang paling hina. di lempar dengan kesombongan.
dibalas uluran lembut pada segebok kabar hari ini.

lampu merah tergantikan lampu hijau. mobil-mobil
teriak mendahului orang-orang pinggiran. memaki keringat
yang menempel di spion. di ludahi yang menghalangi jalannya
akhirnya aku sadar, akulah penjual kabar bersama menguapnya embun.


Untukku, bukan untukmu

Lampu lima watt menerangi kamar
kecil ini. Jarak dan waktu telah
menemani dalam merantau di negeri
orang. Gelap kematian telah di ubah
menjadi cahaya harapan masa depan.

Lampu lima watt tidak seterang
cahaya di perempatan pahlawan
memberi harapan setiap mata
memberi peta pada langkah
yang telah menghilangkan cahaya
abadi yang tertutup awan kesombong
bagi mata-mata keranjang yang menikmati
cahaya perempatan

Lantas, bagaimana dengan lampu lima
watt di kamar? yang redup bersama sepasang
mata. Hanya memberi harapan pada dirinya dan
sepasang mata yang berbaring di atas ranjang.
menenggelamkan ganasnya kegelapan. Bersama mimpi
hanya untukku bukan untukmu.


Akhir atau Awalku

dengan titik
aku menuju titik
bercumbu bersama titik
membuat embrio-embrio titik
ingin menjadi titik
mengubah titik
akhirnya titik
membunuhku, titik
melupakan-Mu, titik
titik. O titik


Antara Pangkuanku dan Pangkuanmu, Ibu

1
Di pangkuan mu, ibu
tubuh ini terasa sempurna
meskipun air mata kepedihan
selalu mengalir bak kasih sayang
yang engkau berikan

Semua itu, semua itu, Terobati
oleh tangan keikhlasan menanamkan
bunga-bunga kasturi  hati
memupuk tanpa penyesalan
yang menjadikan warna dan rasa beda

Di pangkuan mu, ibu
aku rindu bersenandung
bermain kata tanpa dusta
meski engkau berlumur darah
menikmati nada-nada kuberikan

2
Di pangkuanku, ibu
engkau telah mengukir sejarah
dalam tidur dan mimpimu
dengan belaian tangan ini, tidak bisa tergantikan
kepiluan hati

Di pangkuanku, ibu
akhirnya engkau telanjang
aku basuh dengan doa
mengiringi langkahmu untuk
bercerita tentang aku dan Dia


Biodata:

Ngarjito AS. Lahir di Sitiluhur Pati Jawa Tengah. Sekarang belajar di Study of Religi UIN Sunna Kalijaga dan penikmat sastra di Garawiksa Pena.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar