Seperti biasa, setiap pagi saya berjualan koran. Tetapi, pagi itu
ada yang mengejutkan saya, ada seorang pembeli seraya mengucap “Kita
betul-betul sudah menjadi bangsa yatim”. Ia tidak pengamat politik yang baik
sepengetahuan saya. Ini terlihat dari pakaian dan sepedanya terdapat keranjang
untuk mengumpulkan botol bekas. Seorang pembeli yang sudah tidak peduli pada carut-marutnya
politik di Jakarta. Ia memiliki cuek apa yang sudah terjadi.
Saya tidak sempat menanyakan mengapa ia menyebut bangsanya
sedemikian. Mungkin, perkataan itu adalah ekspresi seorang warga negara yang
merasa tidak punya orang tua lagi. Bukan tidak mungkin, perasaan seperti itu
yang mendominasi sebagian hati bangsa ini.
Jika pemerintahan dianalogikan sebagai orang tua, keluhan pembeli
itu memang keniscayaan. Sudah sejak lama bangsa ini berjalan tanpa
pemerintahan. Memang, kita punya presiden. Tetapi, sejak memerintah, ia hanya
sibuk menyelamatkan kelompoknya atau partainya.
Kita juga punya wakil rakyat. Tapi, mereka sibuk dengan kepentingan
pribadinya dari pada yang diwakilinya. Wajar, banyak RUU yang terbengkalai.
Mereka kini sering silat lidah tentang semua itu. Atau, sibuk nonton Film Biru
saat sidang berlangsung. Ah, itukan cuma satu yang ketahuan, yang lain? ngobrol
berapa uang proyek negara yang masuk saku pribadi.
***
Tampaknya, kita ditakdirkan untuk melewati beberapa fase kehidupan
berbangsa yang tidak menggembirakan. Begitu terlepas dari penjajahan, kita
menjadi bangsa yang belia –mengurus dirinya sendiri yang terlepas dari rahim
yang meninabobokkan.
Sebuah negara yang serba kekurangan, bahkan terbelakang. Kemerdekaan
memang sepat menjadi mimpi indah. Mimpi yang terwujudnya kehidupan yang makmur
dan adil. Sayang seribu sayang, mimpi itu tidak ujung ada nyatanya. Kekayaan
manusia yang terbatas, menyebabkan kekayaan alam yang luar biasa ini tidak
segera memakmurkan kita.
Bulan madu Bung Karno sebagai simbol kebebasan bangsa ini tak
berlangsung lama. Tak lebih satu dasawarsa, ia telah menjadi bapak yang sibuk dengan
dirinya sendiri. Bahkan, ada kecenderungan megalomania. Rakyat yang masih belia
yang membutuhkan bimbingan dan tuntunan orang tua, telah ditinggalkan sebelum
cukup dewasa.
Soeharto muncul dengan membawa mimpi-mimpi baru. Dengan jargon
membangun ekonomi menjadi mainan rakyat yang sebelumnya terhipnotis oleh
politik yang secara ekonomi kekurangan. Soeharto telah membawa prestasi
pertumbuhan ekonomi, meski mengorbankan kebebasan berpendapat dan berujung pada
ketimpangan sosial.
Tiga puluh tahun lebih, bangsa ini mulai merangkak dengan rasa
kegamangan. Pada zaman Orde Lama, bangsa ini ibarat keluarga dengan bapak tiri.
Di sebut ayah tiri karena Soeharto banyak mementingkan kepentingan sendiri dari
pada kepentingan anaknya –rakyat.
Atas nama bangsa, ia mengabaikan rakyat sebagai anaknya. Bersama
keluarga dan kroninya, ia berusaha menguasai negeri ini. Sementara itu,
sebagian besar rakyat sebagai anaknya telah diabaikan, bahkan disingkirkan. Ia
pun lengser dengan meninggalkan beberapa masalah yang menambah beban bangsa
ini.
Ketika Susilo Babang Yudoyono menjadi presiden dengan dipilih
langsung rakyat, bangsa ini mulai berani bermimpi kembali. betapa tidak. Ia
terpilih dengan jargonnya yang anti-korupsi dan bangsa yang berpendidikan.
Maka, bangsa ini mulai berani bermimpi tentang kehidupan yang makmur dan adil.
Toh, itu hanya mimpi. Bulan madu para pemimpin hanya sekejap.
Pemerintahan efektif hanya hitungan bulan, selebihnya kita dipertontonkan
pertikaian pemimpin yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Ibarat, setelah terlepas dari ayah tiri, kini bangsa tidak lagi
punya orang tua yang membimbing anaknya. Bangsa tanpa pemerintahan, no government. Bangsa yatim, seperti
yang dikeluhkan oleh pembelian koran tadi. Pemerintah tidak berjalan
semestinya, parlemen tidak bekerja seharusnya, kecuali mengawasi pemerintah
secara ketat. Akhirnya, anak berjalan sendiri tanpa bimbingan dan tuntunan
orang tua.
Di tengah krisis politik dan sosial, rakyat mengambil langkah
sendiri untuk bisa survive. Apatisme
berkembang di mana-mana. Hingga, kemudian membiarkan para elit politik bertikai
tiada habisnya. Harapan lahirnya sebuah bapak yang bisa membimbing anaknya
keluar dari persoalan bangsa telah dikubur dalam-dalam.
Saya tidak terlalu serius memikirkan kekacauan politik di negeri ini
dengan fase bangsa yatim. Mengapa? barang kali, memang takdir inilah yang kita
hadapi sebagai bangsa. Keyatiman yang selalu melahirkan tragedi. Sebaliknya, ia
juga menghasilkan sebuah bangsa yang makin dewasa. Bukankah keyatiman Muhammad
mengantarkannya dia makin siap menjalankan tugas-tugas kerasulan dari
Tuhan-Nya?
Apapun yang terjadi dengan negeri ini, tampaknya fase bangsa yatim
ini akan membawa rakyat semakin dewasa. Bangsa tidak lagi panik karena
pertikaian para elite. Perbedaan pendapat mungkin sudah dianggap biasa, meski
bangsa ini terkungkung selam tiga puluh tahun. Kita yakin fase ini dilalui
dengan sedikit korban yang ditimbulkan.
Saya tidak termasuk orang yang tak melihat krisis politik sekarang
ini sebagai tragedi. Anggap saja ini
sebagai pembelajaran kita sebagai bangsa ingin maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar